Tuesday, March 13, 2007

When the Educational System Fails

After a few years of teaching, I began this semester with a little excitement: I had a Japanese Indonesian in my studio. The first one I had. But apart from this identity, he would probably not had attracted my attention further was it not for what he said during the first lecture I gave.

I was talking about the importance of being creative, of having ideas rather than simply knowledge. Right after I said that, he raised his hand and said something along this line: “I disagree with you. In my opinion, there are no more new ideas.” And he mentioned the development of telephone technology, which to him was a matter of adding (new) and/or combining (old) features. I said that he was indeed right. I quoted James Webb Young who said that ideas are no more than combination of old elements.

I found his comment unusual because most of my students would not start a statement with the words “menurut saya” (in my opinion), they would not say they disagree with me (it’s almost sacrilegious in this culture), and very few of them would have made critical observations about the world.

As the semester went however, he rarely showed up in class. When he did, he brought projects which, although very interesting in their ideas, were not finished. By the mid term he had used up all allowable absences he could take in the whole semester. When he showed up again after a prolonged absence, I told him that he could no longer follow the studio because of his absences. He understood, apologized, and asked if I would still allow him to present what he had made for the day. I did, and I was impressed by what he thought about and explored and how he made and presented his ideas.

What I realized then was that he probably lacked organizational skill with his time, and would have benefit from flexibility to work on a project with self-directed schedule, so he could develop fully what he had in mind. So I asked to meet with him the following week, which was yesterday, to offer him another chance. An independent study would probably be the best setting for a student like him, but unfortunately such an option was not available at the university. And he had decided to drop out of the university, which was not the first time either, so he could go to Japan and pursue a more practical training there.

I told him that his decision might suit him better, as a person like him would fare much better learning from real life, rather than from school. He admitted he didn’t learn much from school, which was probably because he already had his own ideas and was very specific about what he wanted to learn. He would be better off conducting self-directed studies, and discuss them with people who could help him push his thinking. I wish he would eventually find his path in life, through what Greg Mankiw suggested in Education beyond the Classroom.

Meanwhile, here are some quotes about how many great people see schools. Not too happy about them obviously. And here I am in a dilemma of losing belief in the educational system when I myself am looking into further education.

14 comments:

Unknown said...

Hi Dewi,

A wise friend of mine once said, "school is good, but it is not for everybody."

This student of yours may be one who's not appropriate for school, and that's fine. But other students are sure to benefit from your classes :) We in general just need to stop thinking that there is only one good way/path for everybody.

Dewi Susanti said...

Muli, you’re right. I had lunch yesterday with this buddy of mine, whose brilliance is known by those who are acquainted with him, but otherwise doesn’t think he performs as well academically (or so it is perhaps by his standard). Performance anxiety, pressure of time, and perhaps being assigned a problem rather than self finding a problem are possible causes.

Anonymous said...

one of the problems in school is that everybody is measured with the same standard of measurements.
that's a consequence of mass education.

strict standardization is the strength as well as the weakness point, among others, of the education system.

Dewi Susanti said...

So true. The reason why my student ‘failed’ was because he couldn’t perform according to the standard of measurement that I imposed upon my students. It wouldn’t have been fair for my other students if he could get away with low absence and late projects when they would be penalized for the same conducts. So I agree with Muli, school is not for everyone. And I just have to accept that.

Anonymous said...

Saya tidak tahu kenapa saya selalu gagal ketika mau post comment di post ini...hhe...

Jujurnya.. Julius Fujisawa itu salah satu orang paling hebat yang pernah saya temui.. cara dia memandang dan menjalani hidup memang bagi beberapa orang agak "mislead"...tapi mungkin dia itu salah satu orang paling jujur dan paling menghargai ide dan orisinalitas yang pernah saya temui (kesadaran dia untuk tidak menggunakan barang bajakan sama sekali di negara seperti Indonesia itu suatu hal yang amat hebat bagi saya...)

Dan saya setuju...mungkin dia tidak cocok di Indonesia...

Saya sebenarnya juga sempat merasa "tidak cocok" dengan sistem pendidikan yang saya jalani bu...kadang saya merasa seperti apa yang Fujisawa pikir...bahwa sebenarnya dalam keseharian kita, lebih banyak hal yang bisa kita pelajari yang sifatnya pragmatis.tapi di lain pihak saya merasa saya juga suka mendengar banyak hal baru, cerita-cerita baru dari pengajar-pengajar saya (terima kasih ya bu..)...dan akhirnya sampai saya mencapai kesimpulan bahwa bagaimanapun saya butuh untuk melatih diri saya untuk meningkatkan kemampuan saya berpikir...paling tidak untuk membentuk pola pikir saya agar saya bisa menghadapi permasalahan yang terjadi dalam hidup saya ini dengan lebih "benar"... paling tidak itulah kesimpulan yang saya capai tentang pentingnya belajar dalam institusi... bagaimanapun pelatihan pembentukan pola berpikir secara sadar itu butuh teori dan yang membedakan antara institusi dan tidak itu adalah pada sisi "teori"-nya itu...sehingga proses yang terjadi pun bisa dimengerti dengan sadar...

regards..
Raynata

Dewi Susanti said...

ray,

saya baru kembali dari sebuah perjalanan yang sangat menarik. ada beberapa pemikiran tentang belajar dari pendidikan dibandingkan dengan belajar dari praktek. mungkin baru beberapa hari (atau minggu bahkan) baru bisa menuangkan pemikiran ini.

tapi saya rasa lebih baik kita mempertanyakan apa yang kita lakukan daripada membabi buta menjalani kehidupan.

Anonymous said...

membabi buta menjalani kehidupan yah...akhirnya saya menemukan kata yang tepat...karena belakangan saya merasa saya menjalani segala sesuatu tanpa tujuan yang pasti...yah, kata yang tepat ya itu...membabi buta...

semuanya terasa tidak ada "isinya"...like a vast neboulus...someway i kinda feel that emptiness equivalent to my own existence...saya tidak tahu mau cerita ke siapa lagi makanya saya cerita ke ibu...

apa yah...seperti saya telah "dimakan" rutinitas saya...and then when i realized it...maybe there's just a little soul of mine to salvage...

oya..
hari ini setelah itu seminar creatie industry design...someway...saya sangat menyukainya dan benar-benar interest dengan industrial design and graphic design...dunia ini memang tidak selebar daun kelor yah...

regards,
Raynata

Dewi Susanti said...

Bosan itu normal. Tapi dalam kebosanan, kita justru bisa mencari jalan untuk membongkar rutinitas kita sendiri. Dengan begitu mungkin malah bisa mencari kemungkinan-kemungkinan baru diluar yang kita sudah telusuri sebelumnya.

Saya rasa masalah yang paling besar saat ini dalam cara pandang kebanyakan mahasiswa Indonesia adalah masih kuatnya pemikiran bahwa disiplin ilmu itu penting dan memiliki batasan yang pasti. Padahal kalau kita lihat Thomas Heatherwick yang karyanya ada dalam pameran Love and Money misalnya, dia memulai karirnya sebagai desainer produk. Tapi sekarang karya-karyanya sudah merambah disiplin ilmu lain, termasuk arsitektur, patung, dan infrastruktur kota. Mungkin inspirasi dari bidang desain industri dan grafis bisa disalurkan untuk mengusir kebosanan dalam bidang arsitektur? ;)

Anonymous said...

aduh bu Dew.. sdh ketikan ke3 bu. drtd gagal melulu.

lgsg aja ya bu.
saya tertarik bgt dgn blog ini karena akhr2 ini saya jg merasa "ngambang" di instutisi ini. semester ini ntah kenapa saya agak kacau bu di studio.
ntah karena saya tidak cocok dgn sistem pak David yg lbh melepas mhsws atau saya sudah terlanjur terbiasa dgn sistem ibu yg mematok deadline dan kwantitas yg pst

yg pst saya bingung bu.
sy merasa mgkn saya mulai jenuh dgn yg berbau arsitektural, utk itu mggu lalu saya mengikuti workshop Ben Wilson yg pesertanya bervariasi (product,graphic,architecture).

kami berkelompok ber5 disuruh mendesign apa saja dgn tema culture. ntah kenapa saya bisa meyakinkan anggota kelompok saya utk mendesign shelter dgn isu homeless people in Jakarta yg sangat berbau arsitektural "lagi".
(swt... hasilnya saya heran sndr bu) hehe.. menurut ibu gmn?

best regard,
Vera

ps: ibu ada filmnya Jackson Pollpck gk? saya lagi cari buat project studio bu. Kalo ada pinjem ya bu.
Thanx before. ^^

Dewi Susanti said...

Halo Vera,

Yah kan kamu tidak harus mengikuti sistem dari dosen kan? Kalau sistem dari dosen kurang sesuai kamu tetap bisa mengerjakan tugas sesuai dengan cara kerja kamu, tinggal mematok deadline dan mengatur jadwal sendiri aja ;)

Apanya yang bagaimana menurut saya? Workshop-nya Ben Wilson? Saya tidak tahu ;) Kalau kenapa kamu buat sesuatu terus ujung-ujungnya arsitektur lagi, saya juga tidak tahu ;) Tapi kalo melihat dari ketertarikan kamu dengan isu homeless people di Jakarta, mungkin gak yah kalau kamu ‘bosan’ dengan arsitektur karena di jurusan memang isu-isu yang diangkat agak mengawang-awang? Saya juga sudah mulai ‘gatal’ dengan arah desain arsitektur di kampus sih sebenarnya… he..he..

Saya coba rubah security setting untuk posting di blog ini deh. Soalnya saya sendiri kalo posting comment sering mesti beberapa kali kok ;) Trick-nya adalah dengan tulis dulu di word terus baru copy and paste.

Saya gak punya film Pollock.

Anonymous said...

ya bu.. dari semester2 lalu selalu membicarakan tektonik terus.. tapi pada akhirnya jg kita mengarah ke bangunan yg strukturnya biasa saja. kenapa bukan diangkat isu yg lebih ke kebutuhan masyarakat aja ya bu? mis, homeless people, bangunan anti gempa atau banjir dsb.

film jackson pollocknya saya sudah dapat bu..sdh ntn jg. pollock itu kayak orang gila ya bu? hehe.. kadang otaknya bisa terkontrol, dan tiba2 bisa gak sadar gitu.

Vera

Anonymous said...

Alow Bu...ga tau knapa jadi ramai yah thread yang ini..saya kembali ke ibu nie...saya tidak tahu mau cerita ke siapa lagi..dan sebenernya banyak yang kangen sama sistem ibu..saya,yenty dan natasya...

Sekarang saya sudah dengan sadar mencapai taraf yang kata psikolog kenalan saya itu "frustasi"...sampai sekarang deadline yang cuma 3 minggu sampai UAS dan saya tidak punya apapun di kepala saya untuk saya wujudkan...mimpi itu seperti hilang dari kepala saya...dan rasa stress itu pun menghampiri saya dan sekarang sudah jadi rasa frustasi...sekarang semua menanyakan konsep kita...semua mencari sesuatu yang "wah" dari desain kita...padahal menurut saya desain itu menyelesaikan masalah, bukannya terus menerus membuat orang lain tercengang...

Saya dan Widy belakangan banyak ngobrol..kami berdua merasa sekarang arsitektur itu bukan dunia kita...tapi sudah terlanjur, dan sudah tidak bisa nyerah..lalu?kita juga bingung...saya sempat berpikir kalau saya sudah terlanjur masuk dunia ini..dan saya masih punya segala kepercayaan bahwa saya masuk disini untuk hal yang baik dan mengalami hal yang baik..apapun itu...

Beberapa waktu belakangan saya coba "melarikan diri" dari arsitektur...banyak berkecimpung di dunia fotografi dan desain grafis..bagaimanapun dua dunia ini amat bisa saya nikmati dan saya senang bahwa dalam kedua dunia ini saya bisa menghibur orang lain...membuat eksistensi saya bermakna..someway...

Yah, jadi ngalor-ngidul ya bu...maaf ya...sebenarnya saya mau bertanya bagaimana cara saya bisa mengatasi rasa frustasi saya..bagaimana saya bisa mengisi kembali kepala saya dengan ide-ide yang bisa memecahkan solusi saya...saya tahu semuanya harus berangkat dari diri saya sendiri...tapi saya benar-benar butuh sesuatu untuk "memancing" atau kalau perlu "memaksa" saya untuk membuat "sesuatu"...saya tahu kalau batas yang namanya "deadline" itu ada meski kalaupun kita tidak penuhi toh saya masih percaya saya tidak mati...tapi saya belum merasa "deadline" itu bisa mendorong saya bu... saya sudah coba atasi semuanya sendiri, saya sudah tertawa, kecewa, ngelamun, menangis, membaca, menggambar..but still...zero and emptiness is the result...

regards..
Raynata

Dewi Susanti said...

Biasanya orang frustasi karena menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan pendapat/ prinsip/ pendirian/ keinginan seseorang. Mungkin kuncinya ada pada kalimat “padahal menurut saya desain itu menyelesaikan masalah, bukannya terus menerus membuat orang lain tercengang…”

Sama intinya dengan jawaban buat Vera: kalau kamu tidak menemukan apa yang kamu cari, ciptakan/ kondisikan situasinya supaya kamu bisa menemukan apa yang kamu cari. Jadi biarpun kamu tidak diminta untuk menyelesaikan masalah, ciptakan/ kondisikan sehingga desain kamu menyelesaikan masalah – apapun itu dari sudut pandang kamu.

Tapi kadang ada saatnya kita mencapai batas toleransi, sehingga memang kalau sudah seperti itu yah mau jungkir balik seperti apa pun tetap mentok. It’s ok to not always be in control of yourself. Just wait it out until it passed :)

Anonymous said...

Yup...akhirnya saya memutuskan untuk "uda hantem aja...masalah bener salah, bagus nda itu urusan belakangan...", mungkin agak membabi-buta sie kesannya...tapi saya pikir di tengah dunia yang disebut "deadline" ini mungkinn yang penting itu coba dulu...karena refinement itu pasti ada..dan mudah"an saya bisa mencapai refinement itu dengan baik...


I'll try all my best to get this over and take my holiday...someway...

regards,
Raynata