Monday, August 13, 2007

Synchronized Nature

It has been a while since I went to the beach, and the trip to Carita over the weekend was my solace to the years of neglect in coordinating with the waves. And I failed miserably the whole first day. The waves kept leaving my boogie board behind, or I was too fast, or too slow, or completely taken over by them. Hopeless, embarrassing attempts. I did only a little better with the kayak. The waves turned me over as soon as I got on board. Only later I managed to balance myself. And both got better the second day.

Being in nature made me realize, as most would, the harmony of the world. How well the coral fishes camouflaged themselves with sand, hermit crabs with seaweeds. How logical were the colors and the shapes of the corals in relation to the ebbs and flows and where the sunlight reached their crevices. And I was in awe with the most trivial things: how the sunlight reflected off of the waves, how the sand captured the drops of water from my fingertips, the foam and the traces of the waves.

The days were long in the great outdoors. And the whole weekend felt like a whole week away from the city. Strangely, the sun set really fast – although it wasn’t really a sun set I was watching, but two within five minutes.

The first one happened around the time I was leaving. And I thought how strange it was that I could see the sun setting from between the leaves on the trees and a good way above the horizon. Then I realized the sun was going behind a cloud with a horizontal top, which completely hid it behind for a while, before it reappeared again in between clouds. The lower cloud then became the second ‘horizon’ for the sun set.

A dawning thought emerged: what if the earth stopped rotating and turned backwards for a few minutes? Having read most of Bill Bryson’s “A Short History of Nearly Everything”, scientifically I remembered vaguely what made the planets so well coordinated. But still, given the state of the global warming and environmental degradation, I couldn’t help asking this question: What if the earth had had enough abuse and decided to call it a quit?

***

Below is an image from the pier nearby, where most activities in the nearby fish market has subsided before eight in the morning – when I normally would still be sleeping in Jakarta on weekends.

4 comments:

Anonymous said...

hmm...mungkin out of topic...tapi membaca posting ibu...saya jadi sadar beberapa hal yang mungkin hilang dari hidup saya yang sederhana ini...jujurnya saya sedang tidak ada minat sama sekali untuk menjalani hidup saya..termasuk studi saya dan pekerjaan-pekerjaan saya...yah..mungkin orang bilang saya tidak tanggung jawab sama pilihan...tapi pilihannya nyatanya dipilihkan orang lain juga...kadang-kadang saya jadi bingung mau dibawa kemana hidup saya ini...

membaca posting ibu saya jadi merasa saya butuh liburan sepertinya...liburan yang sepertinya sudah tidak menjadi bagian hidup saya dalam beberapa tahun belakangan...

kata teman-teman saya, saya jadi ekstrimis...seenaknya..cenderung vulgar mengungkapkan perasaan...seenaknya...dan sekian banyak pernyataan lainnya...apa ini karena jenuh ya bu?jenuh yang menjadi stress lalu terus berkembang dan menimbulkan rasa frustasi di dalam diri ini..

membaca posting ibu seperti melakukan liburan itu..meski saya merasa saya akan tetap liburan setelah semuanya slesai...saya sudah bercita-cita saya akan menyebrangi samudera untuk melihat-lihat dunia luar dengan uang saya sendiri 1 atau 2 tahun lagi..tapi tetap..sampai sekarang saya belum tahu mau dibawa kemana hidup saya ini...apa perasaan saya ini wajar ya bu?

saya jadi inget buku itu juga..buku yang menarik...makasi yah bu uda dipinjemin...

regards...
Raynata

Dewi Susanti said...

hmm... kalau memang jenuh, mungkin gak usah nunggu lulus kali buat mencari liburan, keburu suntuk beneran :) weekend ini juga bisa kalau mau. salah satu yang membuat liburan efektif (terutama kalau ke alam bebas) buat mengatasi kejenuhan dan keruwetan kehidupan adalah karena kita jadi sadar dengan dunia yang jauh lebih luas dibanding dunia kehidupan kita sehari-hari. dan masalah pribadi jadi tidak terkesan serumit sebelumnya.

kalau tentang mempertanyakan hidup mau dibawa kemana beda lagi yah... emang kayaknya ada orang-orang yang cenderung dipusingkan oleh pertanyaan abadi ini, termasuk saya :) jadi mungkin saya tidak terlalu bisa membantu. tapi belakangan ini saya belajar bersabar menunggu waktu terjadinya apa yang saya inginkan, dan untuk sebagian misteri kehidupan mulai terbersit. salah satu kunci yang saya coba pakai adalah dengan mengatur kegundahan diri (managing anxiety) dan mengambil hikmah yang terbaik dari kesempatan (ataupun keterpaksaan) yang sedang dihadapi.

Anonymous said...

Iya,Bu..saya juga berpikir kayak gitu sekarang...udalah..ga usa dipikirin...biarin ngalir aja..let time answers me...yang terjadi ya terjadilah...dan percaya aja kalau yang terjadi itu yang terbaik buat kita...mungkin kurang lebih seperti itu yah bu??

someway..i really need some time to deal with my own life..arranging all the stuff back to its place..especially to put my mind back to its set...i'm losin my mind i think...

sebenernya saya juga ingin berlibur di long weekend ini..but unfortunately...the schedule of my college is keep on weighing my mind and killing me little by little...maybe sounds so sarcastic..but it's really the way i feel about my life now honestly...

regards..
Raynata

Dewi Susanti said...

Kalau yang saya maksud bukan ‘sudahlah tidak usah dipikirin’, tapi lebih ke ‘putting it at the back of my mind’. Kalau kita tahu apa yang kita inginkan, dan masalahnya adalah sekarang kita sedang dalam proses mengumpulkan bekal – baik pengetahuan, finansial, tekad, dll. – pertanyaannya menjadi ‘bagaimana mengarahkan kesempatan (atau keterpaksaan) yang sedang terjadi sehingga bisa memperbesar kemungkinan terjadinya apa yang kita inginkan di kemudian hari. Kesempatan (atau keterpaksaan) terjadi dalam kehidupan karena hal-hal kecil yang sepertinya tidak saling berkaitan, namun sebenarnya memperbesar (atau memperkecil) kemungkinan terjadinya kesempatan (atau keterpaksaan) tersebut.

Kalau tidak mungkin untuk pergi keluar kota, mungkin bisa mencari cara lain untuk mengeluarkan diri dari rutinitas? Daripada membusuk dalam diri… :)