Wednesday, November 07, 2007

Indonesian Unemployed Youth: Culture or Laziness?

In discussing the state of Indonesian education with a colleague recently, I was reminded by this statistics in Naomi Klein’s “No Logo”: “Youth (age 15-24) unemployment as a percentage of total unemployment in Indonesia was 72.5% in 1996”. I was shocked by such a high figure, the highest in the list as a matter of fact. As a comparison, in 1997 the percentage was 45.4% in the Philippines, 35.9% in The United States, 29.9% in The United Kingdom, and (the lowest was) 12.2% in Germany (Yearbook of Labour Statistics, from 1980 to 1997, International Labour Office, in Klein, N. 2000: 532).

My hope is that the social safety net in Indonesia is really good, so much so that it allows most teenagers to be dependent upon adults financially. Or is it our culture? Only recently it has become socially OK for Indonesian high school and university students to be employed while going to school. Or maybe the statistics couldn’t get into account the thousands (millions?) of Indonesian youths who work in the informal sectors. Or, to take on the opposite stand: Are Indonesian youths lazier than those in the rest of the world? Or they simply lack the opportunities, education, skills, and systems that could help boost their employability? What’s your take on this?

If you’re wondering if the statistic is still the case in Indonesia, this is what I found: 70% of total unemployment in Indonesia is (still) represented by the youth generation, according to SMERU’s report on “Reducing Unemployment in Indonesia (2007) as quoted in this Media Indonesia article (in Bahasa).

6 comments:

Raynata... said...

Hmm..sepertinya saya masuk di antara anggota statistik itu deh bu...saya mungkin memiliki sekitar 3-4 pekerjaan tetap yang saya jalani dalam keseharian saya..namun semuanya di sektor informal..dan hampir smua saudara saya melakukan hal yang sama sebenarnya (ini jadi kultur keluarga)...jadi kurang lebih status saya masi penggangguran mungkin...even though i can claim that i can earn my life somehow...but still mt status is "not officially employeed"...

Sebenarnya kenapa hal ini bisa terjadi alasannya sangat beragam bu..dari cerita-cerita yang sering saya bagi dengan teman-teman di kelas (they're wondering how could i get some jobs even though i haven't a good qualification to work somehow,hhe)..masalahnya adalah bagaimana masyarakat memiliki stereotype bahwa anak muda itu kurang pengalaman...beberapa teman mencoba melamar pekerjaan, dan akhirnya bila tanpa koneksi, melamar pekerjaan itu hanya akan berakhir dengan surat penolakan... kalau diterima pada suatu pekerjaan pasti kita sudah "over-qualified" yang akhirnya akan membuat kita merasa kita digaji dengan tidak pantas...atau rekan-rekan kerja mengganggap bahwa kita bekerja disana dengan keinginan terselubung atau hanya untuk menjadi batu loncatan...sangat dilematis bukan bu? seperti di iklan itu kayaknya..."Tanya Kenapa??"

Regards..

Dewi Susanti said...

Saya rasa memang sulit untuk memperhitungkan pekerja yang sifatnya freelance atau part time di bidang formal. Dan di Indonesia ada jutaan pekerja yang sifatnya juga informal.

Dalam kasus pertama, bagi perusahaan di bidang formal, cukup menarik untuk mempekerjakan mahasiswa atau pelajar SMU karena pengetahuan yang dianggap sudah cukup (atau malah berlebihan), namun masih dapat dibayar dibawah standar mereka yang dianggap lebih berpengalaman.

Sementara untuk kasus kedua, pelajar sekolah jelas-jelas memiliki pengetahuan yang overqualified untuk pekerjaan informal (misalnya: joki 3in1, office boy, penjaja makanan kecil, dll.). Pekerja dalam bidang informal sama sekali tidak terdeteksi dalam statistik, termasuk oleh Badan Pusat Statistik kita. Mau mencoba mendata? :)

philosopher.me said...

Hi, long time no see :) Btw, I found this interesting article, and I thought you might get interested too :) I don't know whether you've known it or not, but, still, I want to share it with you. hehe :D Enjoy it :D

http://arts.guardian.co.uk/art/architecture/story/0,,2206428,00.html

Dewi Susanti said...

Thanks for the link Amy. I saw the headline, but I didn't read it as it wasn't surprising news to me :) But nevertheless, it's good to read it thoroughly.

Raynata... said...

hmm..menurut saya hal itu sangat sulit untuk dilakukan...karena freelance itu sendiri variabel yang amat tidak pasti...karena sangat dipengaruhi oleh dimensi waktu bu...freelance itu sendiri sebenarnya sifatnya gimana yah bu? kalau ada orang yg memiliki pekerjaan tetap sebagai freelance, apa dia tetap dikategorikan sebagai pengangguran?

Dewi Susanti said...

Kategori pekerjaan freelance adalah pekerjaan yang diselesaikan per proyek. Freelancer biasanya bekerja kepada beberapa perusahaan berdasarkan proyek juga. Biasanya mereka ini paling sulit untuk dideteksi dalam statistik pekerja di negara-negara berkembang, karena sistem pendataan pajak juga masih belum sesuai.

Kalau di negara-negara maju, freelancer masih dapat terdeteksi dari pajak yang dia bayar. Jadi kalau di kasus negara berkembang, freelancer, karena tidak terdata, jadi terhitung sebagai pengangguran, walaupun secara de facto tentunya tidak demikian.